Peristiwa Pertempuran Puputan Margarana (20 November 1946)
Peristiwa Puputan Margarana yang terjadi pada tahun
1946 merupakan peristiwa bersejarah bagi rakyat Bali khususnya dan rakyat
Indonesia umumnya, peristiwa ini menceritakan perlawanan rakyat Bali kepada
tentara Belanda pada masa revolusi fisik.
Pertempuran Puputan Margarana disebabkan oleh
keinginan Belanda untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Letkol I Gusti Ngurah Rai selaku Komandan
Resimen Nusa Tenggara, berusaha menggagalkan rencana Belanda untuk membentuk
NIT dengan melancarkan serangan ke tangsi-tangsi tentara NICA di Tabanan
tanggal 18 Desember 1946.
Pemusatan pasukan Ngurah Rai dengan nama pasukan
Ciung Wanara yang berlokasi di Desa Adeng Kec. Marga. Adanya kabar pemusatan
pasukan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai membuat tentara Belanda menjadi
gempar dan berusaha mencari informasi di mana pusat-pusat pasukan Ciung Wanara
berada. Pada tanggal 20 November 1946 desa Marga tempat pemusatan pasukan
Ngurah Rai diserang oleh para tentara Belanda melalui sektor udara.
Dalam keadaan genting tersebut, I Gusti Ngurah Rai langsung
mengeluarkan perintah “Puputan”. Puputan dalam bahasa Bali berarti perang,
pertempuran sampai titik darah penghabisan (mati).
Pada peristiwa puputan I Gusti Ngurah Rai beserta
seluruh anggota pasukan dalam pertempuran tersebut gugur. Jenazahnya dimakamkan
di desa Marga. Gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai memudahkan jalan bagi Belanda
untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT).
Latar
Belakang
Latar belakang meletusnya pertempuran Margarana bermula
dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 11-15 November 1946, pihak
pemerintah Indonesia harus melakukan perundingan linggarjati dengan pihak
Belanda. Salah satu isi dari perundingan Linggarjati menyebutkan bahwa Belanda
mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Kemudian Belanda diharuskan sudah meninggalkan
wilayah de facto tersebut paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2
dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukan tentaranya sekitar 2000 tentara
dalam pendaratan di Bali ditambah dengan tokoh-tokoh yang memihak Belanda.
Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali bertujuan untuk menegakkan berdirinya
Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu I Gusti Ngurah Rai yang menjabat selaku
Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta dengan alasan untuk
mengadakan konsultasi ke Markas tertinggi TRI, sehingga beliau tidak mengetahui
kabar pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah mendarat di Bali, perkembangan
politik RI di pusat kurang menguntungkan akibat perjanjian Linggajrati, di mana
Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah RI. Rakyat Bali sendiri merasa kecewa
terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih lagi ketika Belanda berusaha
membujuk Letkol I Gusti Ngurah Rai untuk diajak guna membentuk Negara Indonesia
Timur. Ajakan tersebut tentunya ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,
bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata yang terjadi pada tanggal 18
November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya yang bernama
Ciung Wanara berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan.
Kemenangan dipihak pejuang Indonesia
itu membuat tentara Belanda geram, kemudian mereka mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai. Selain merasa geram
terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, mereka juga merasa kesal karena
adanya konsolidasi serta pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan
Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan
Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari informasi pusat kedudukan pasukan
Ciung Wanara.
Jalannya
Puncak Peristiwa
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai beserta
pasukan Ciung Wanara, melakukan longmarch ke Gunung Agung. Namun tiba-tiba dalam
perjalanan, pasukan ini dicegati oleh para serdadu Belanda di Desa Marga yang
mengetahui tentang keberadaan pasukannya itu.
Pertempuran sengit pun pada akhirnya tidak dapat terelakkan
lagi. Sehingga desa Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tumbuh,
berubah menjadi pertempuran yang mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan
senjata tiba-tiba terdengar dari tempat-tempat tumbuhnya ladang jagung.
Pasukan Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap
dengan peralatan dan persenjataannya, tidak langsung menyerang tentara Belanda.
Mereka masih berfokus pada strategi pertahanan dan menunggu komando dari pimpinannya
untuk membalas serangan. Tembakan tanda menyerang mulai diletuskan, puluhan pasukan
pemuda mulai bergegas keluar dari ladang jagung dan membalas serangan tentara
NICA. Senjata rampasan yang sudah didapat akhirnya Ciung Wanara berhasil membuat
serdadu Belanda kewalahan.
Namun ternyata perang belum juga usai. Serdadu
Belanda yang telah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini,
bukan hanya letupan senjata yang terdengar keras, namun tentara Belanda menggempur
pasukan muda I Gusti Ngurah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan ladang
jagung yang subur itu menjadi ladang pembantaian penuh darah.
Peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Puputan
Margarana. Peristiwa yang terjadi pada malam 20 November 1946 di desa Marga ini merupakan salah
satu peristiwa sejarah yang penting bagi tonggak perjuangan rakyat di Indonesia dalam melawan
kolonial Belanda pada masa revolusi fisik.
Sumber: http://birohumas.baliprov.go.id
Peristiwa Pertempuran Puputan Margarana (20 November 1946)
Reviewed by Rizqi Awan
on
23.42
Rating:
Tidak ada komentar: